Minggu, 25 Agustus 2013

Agar Jangan Sampai Dikatakan

Illustrasi
Inilah kisah True Story yang terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab.
              Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datang lah 3 orang pemuda . Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka ketika sudah berhaapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,“Tegakkanlah keadalan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!” “Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”.
               Umar segera bangkit dan berkata, “ Bertakawalah kepada Allah, benrkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda? “ Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata,” Benar , Wahai aAmirul Mukminin.” .“ Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.” , Tukas Umar. Pemuda lusuh itu memulai ceritanya.
            “ Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah kuikat kuselesaikan di kota on. Sesaimpanya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah. Segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah kedua pemuda ini.”
            “Wahai,Akmirul Mukmiin , kau telah mendengar ceritanya,
kami bisa mendatangkan saksi untuk itu”. Sambung pemuda yang ayahnya terbunuh, “Tegakkanlah hak Allah atasnya ! “ timpal yang lain. Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh. “ Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayanh kalian karenan khilaf kemarahan sesaat”, Ujarnya.
              “Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu”, lanjut Umar. “ Maaf Amirul Mukminin, “ sergah kedua pemuda masih dengan mata merah menyala, “ kami sangat menyayangi ayah kami dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum di balas dengan jiwa”. Umar semakin bimbang , di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang di nilainnya amanah, jujur dan bertanggung jawab . tiba- tiba si pemuda lusuh berkata, “ Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah “ ujarnya dengan tegas, “ Namun , izikan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash”.”Mana bisa begitu?” , ujar kedua pemuda.”Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?” tanya Umar.
           “Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?” pemuda lusuh balik bertanya. “ Baik , aku akan memberimu waktu tiga hari . Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji”, Kata Umar. “ Aku tidak memiliki seorang kerabatoun di sini. Hanya Allah, Hanya Allha lah penjaminku wahai orang-orang beriman “, rajuknya.
                Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, “ Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin”. Ternyata Salman al Farisi yang berkata. “ Salman?” hardik Umar marah, “ kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini”. “ Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya”, Jawab Salman tenang. Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh.
             Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya. Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua.Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman. Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling utama. Matahari hampir tenggelam , hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya . Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.
                Akhirnya tiba waktunya penqishashan, Salman dengan tenang dan ketawakkalan berjalan menuu tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, orang hebat seperti Salman akan dikorbankan. Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan yang berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali. “ Itu dia!” teiak Umar, “ Dia datang menepati janjinya!”
                Dengan tubuh bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal , si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar. “ Hh...Hh.. maafkan ... maafkan.. aku.. “ ujarnya dengan susah payah, “Tak kukira .. urusan kaumku... menyita.. banyak... waktu.. “. “kupacu.. tungganku... tanpa henti, hingga .. ia sekarat di gurun.. terpaksa.. ku tinggalkan.. lalu aku berlari di sana.. “ Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum , “Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” “Agar.. jangan sampai ada yang mengatakan.. dikalangan muslimin.. tak ada lagi ksatria.. tepat janji.. “ jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.
                Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya , “ Lalu kau Salman, mengapa mau-maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?” “Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”, Salman menjawab dengan mantap.
               Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu. “ Allahu Akbar !” tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak , “Saksikanlah wahai kaum Muslimin, tangos haru telah memaafkan saudara kami itu “. Semua orang tersenak kaget.
               “Kalian..” ujar Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru. “ Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya” , Ujar kedua pemuda membahana. ‘ Allahu akbar ! “ teriak hadirin. Pecahlah tangis bahagia , haru dan bangga  oleh semua orang.

              Begitupun kita disini, di saat ini. Sambil menyisipkan sebersit rasa iri, karena tak bisa merasakannya langsung bersama saudara-saudara kita pada saat itu... “ ALLAHU AKBAR... “

(Dikutip dari : Buletin Dakwah Nurul Hayat Ed.93)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

TwitterDeliciousFacebookDiggStumbleuponFavorites